Jumat, 30 Oktober 2009

makalah promosi kesehatan tentang perilaku hidup sehat pada masyarakat

Kondisi anemia dan Kekurangan Energi Kronis (KEK) pada ibu hamil mempunyai dampak kesehatan terhadap ibu dan anak dalam kandungan, antara lain meningkatkan risiko bayi dengan berat lahir rendah, keguguran, kelahiran premature dan kematian pada ibu dan bayi baru lahir. Hasil survey menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada ibu hamil masih sangat tinggi, yaitu 51 persen,dan pada ibu nifas 45 persen. Sedangkan prevalensi wanita usia subur (WUS) menderita KEK pada tahun 2002 adalah 17,6 persen. Tidak jarang kondisi anemia dan KEK pada ibu hamil menjadi penyebab utama terjadinya perdarahan, partus lama, aborsi dan infeksi yang merupakan faktor kematian utama ibu.

Malnutrisi bukan hanya melemahkan fisik dan membahayakan jiwa ibu, tetapi juga mengancam keselamatan janin. Ibu yang bersikeras hamil dengan status gizi buruk, berisiko melahirkan bayi berat badan lahir rendah 2-3 kali lebih besar dibandingkan ibu dengan status gizi baik, disamping kemungkinan bayi mati sebesar 1.5 kali.

Salah satu cara untuk mengetahui status gizi Wanita Usia Subur (WUS) umur 15-49 tahun adalah dengan melakukan pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA). Hasil pengukuran ini bisa digunakan sebagai salah satu cara dalam mengidentifikasi seberapa besar seorang wanita mempunyai risiko untuk melahirkan bayi BBLR. Indikator Kurang Energi Kronik (KEK) menggunakan standar LILA <23,5cm. Dari hasil survei BPS tahun 2000-2005 gambaran risiko KEK yang diukur berdasarkan LILA menurut kelompok umur menunjukkan bahwa persentase wanita usia subur dengan LILA < 23.5 cm (berisiko KEK) umur 15-49 tahun rata-rata adalah 15.49.

Penelitian Saraswati dan Sumarno (1998) menunjukkan bahwa ibu hamil dengan kadar Hb <10 g/dl mempunyai risiko 2.25 kali lebih tinggi untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu hamil dengan kadar Hb di atas 10 g/dl , dimana ibu hamil yang menderita anemia berat mempunyai risiko untuk melahirkan bayi BBLR 4.2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tdak anemia berat.

Informasi yang dikumpulkan oleh Sub Commitee on Nutrition WHO menunjukkan bahwa paling sedikit satu diantara dua kematian ibu di negara sedang berkembang adalah akibat anemia gizi besi. Suatu studi di Indonesia pada 12 rumah sakit pendidikan pada akhir tahun 1970 melaporkan bahwa angka kematian ibu di kalangan penderita anemia adalah 3.5 kali lebih besar dibandingkan dengan golongan ibu yang tidak anemia. Apabila kadar hemoglobin kurang dari 8 gr%, risiko kematian maternal meningkat sekitar delapan kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita tidak anemia.

Disparitas kematian ibu antar wilayah di Indonesia masih cukup besar dan masih relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN misalnya resiko kematian ibu karena melahirkan di Indonesia adalah 1 dari 65, dibandingkan dengan 1 dari 1.100 di Thailand. Pada tahun 2002 angka kematian ibu (AKI) di Indonesia angka 307 per 100.000 kelahiran hidup. Dari lima juta kelahiran yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya, diperkirakan 20.000 ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan atau persalinan.








Setelah di adakan nya promosi kesehatan tentang anemia pada ibu hamil, peserta penyuluhan tersebut diharapkan:
1)Memahami dan mengerti tujuan promosi kesehatan tentang anemia khususnya pada ibu hamil
2)Menerapkan pola hidup sehat dan nutrisi yang seimbang, sebagaimana yang telah dianjurkan pada promkes tentang anemia tersebut
3)Mengetahui cara penanganan dan pencegahan apabila ibu telah menderita anemia agar tidak terjadi kemungkinan komplikasi penyakit lain
4)Diharapkan dengan adanya promosi kesehatan, dapat munurunkan tingkat anemia dimasyarakat terutama ibu hamil

Rabu, 14 Oktober 2009

PROMOSI KESEHATAN TENTANG PERILAKU HIDUP SEHAT PADA MASYARAKAT

TUGAS PROMKES KELOMPOK II :
1.ALIMAH
2.EVA RUSIVA
3.LIA NOVIA HK
4.NURIANA
5.SRI LESTARI
6.RAHMI MARDIANA

mal

Jumat, 09 Oktober 2009

“Health education alone is nothing.
Health education with program is something.
Health education with program and community is everything”.
(Jargon Health Education)

Awalnya Belanda, untuk kepentingan mereka sendiri, membentuk Jawatan Kesehatan Tentara (Militair Geneeskundige Dienst) pada tahun 1808. Itu terjadi pada waktu pemerintahan Gubernur Jendral H.W. Daendels, yang terkenal dengan pembuatan jalan dari Anyer sampai Banyuwangi, yang membawa banyak korban nyawa penduduk. Pada waktu itu ada tiga RS Tentara yang besar, yaitu di Batavia (Jakarta), Semarang dan Surabaya. Usaha kesehatan sipil mulai diadakan pada tahun 1809, dan Peraturan Pemerintah tentang Jawatan Kesehatan Sipil dikeluarkan pada tahun 1820. Pada tahun 1827 kedua jawatan digabungkan dan baru pada tahun 1911 ada pemisahan nyata antara kedua jawatan tersebut. Pada awalnya, perhatian hanya ditujukan kepada kelompok masyarakat penjajah (Belanda) sendiri, beserta para anggota tentaranya yang juga meliputi orang pribumi. Sedangkan usaha untuk mempertinggi kesehatan rakyat secara keseluruhan baru dinyatakan dengan tegas dengan dibentuknya Jawatan/Dinas Kesehatan Rakyat pada tahun 1925. Sedangkan pelayanan kesehatan yang mula-mula dilakukan adalah pengobatan dan perawatan (upaya kuratif), melalui RS Tentara.
Pada waktu itu sebagian besar rakyat di pedesaan masih sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, kepercayaan akan tahayul, dan pengobatan lebih percaya pada dukun. Ibu-ibu pada waktu melahirkan bayinya juga lebih banyak ditolong oleh dukun. Kondisi hygiene-santasi masih sangat buruk, dan berobat ke dokter masih menimbulkan rasa takut. Banyak penyakit timbul karena pola hidup yang tidak bersih dan tidak sehat. Pada waktu itu sering terjadi wabah malaria, kolera, sampar, dan cacar. Di samping itu juga sering terjadi wabah busung lapar di daerah-daerah tertentu. Sedangkan penyakit frambusia/patek/puru, kusta dan tuberkulosis merupakan penyakit rakyat. Usaha preventif pertama yang dilakukan adalah pemberian vaksin cacar yang hanya dilakukan dalam kelompok terbatas. Usaha lainnya yang sebenarnya tertua usianya adalah pengasingan para penderita kusta, tetapi itu lebih sebagai usaha pencegahan penularan semata-mata. Selain itu juga ada kegiatan pengasingan para penderita sakit jiwa, yang hanya dilakukan terhadap mereka yang berbahaya bagi masyarakat sekelilingnya.
Dengan adanya wabah kolera, pada tahun 1911 di Batavia dibentuk badan yang diberi nama “Hygiene Commissie” yang kegiatannya berupa: memberikan vaksinasi, menyediakan air minum dan menganjurkan memasak air untu diminum. Perintis usaha ini adalah Dr. W. Th. De Vogel. Selanjutnya pada tahun 1920 diadakan jabatan “propagandist” (juru penyiar berita) yang meletakkan usaha pendidikan kesehatan kepada rakyat melalui penerbitan, penyebar luasan gambar dinding, dan pemutaran film kesehatan. Usaha ini karena penghematan dihentikan pada tahun 1923.
Menurut Dr. R.Mochtar, pendidikan yang pernah didirikan yaitu :
  1. Pendidikan Kesehatan Rakjat (PKR) sudah dirasakan pentingnya sejak permulaan abad ke XX, namun direalisasikan dalam bentuk kegiatan nyata baru dalam tahun 1911, yang dikenal dengan nama Medisch Hygienische Propaganda.

  2. Pendidikan Kesehatan Rakyat (PKR) terkait pada program kesehatan, yaitu Hygiene dan Sanitasi lingkungan (PKR bukan suatu program yang berdiri sendiri)

  3. Walaupun Pendidikan Kesehatan merupakan bagian dan kegiatan terintegrasi dalam program-program kesehatan, namun hal ini perlu ditangani secara “professional”. Untuk ini perlu organisasi/unit kerja khusus yang menangani Pendidikan Kesehatan, dan diperlukan pula tenaga terdidik atau terlatih. Dalam hal ini tenaga sanitasi, disiapkan untuk mampu memberikan pendidikan tentang kesehatan dan sanitasi kepada masyarakat desa, disertai alat/media pendidikan (Audio Visual Aid ). Tenaga “Health Educators” ini bekerja dengan penuh keyakinan dan dedikasi.
Pada sekitar tahun 1956, dibentuk Unit Kesehatan Masyarakat Desa dan Pendidikan Kesehatan Rakyat (KMD/PKR). Prof. Dr. dr. Sulianti Sarosa (alm), yang biasa disebut dengan ”dr Sul” ditetapkan sebagai pimpinan unit tersebut. Menurut beliau, titik berat usaha kesehatan masyarakat adalah pada usaha preventif. Namun istilah preventif ini masih kurang dipahami secara tepat oleh masyarakat, bahkan seringkali dikira bahwa usaha preventif hanya meliputi penerangan-penerangan kesehatan atau usaha imunisasi saja. Yang diharapkan dan dianggap penting oleh masyarakat adalah ’pengobatan’ atau usaha kuratif.
Sebenarnya yang dimaksud dengan usaha preventif adalah bahwa upaya kesehatan yang dijalankan tidak semata-mata untuk penyembuhan yang sakit, tetapi lebih pada upaya untuk mencegah timbulnya penyakit serta mempertinggi derajat kesehatan masyarakat (promotif). Hal ini berarti bahwa usaha-usaha pengobatan ringan perlu dilakukan agar penyakit tidak bertambah parah, juga termasuk pengobatan dalam rangka memberantas penyakit menular yang dilakukan secara sistematis.

Usaha-usaha kesehatan preventif yang dapat dilakukan adalah :
  1. Pendidikan Kesehatan kepada Masyarakat (Health Education)

  2. Perbaikan Makanan Rakyat

  3. Perbaikan Hygiene lingkungan hidup

  4. Kesejahteraan Ibu dan Anak

  5. Dinas Kesehatan Sekolah

  6. Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (Public Health Nursing)

  7. Usaha Pengobatan

  8. Pemberantasan Penyakit endemis dan epidemis

  9. S t a t i s t i k

  10. Laboratorium Kesehatan
Zaman pra dan awal kemerdekaan dulu propaganda masalah kesehatan sudah dilakukan. Saat itu cara propaganda yang dilakukan untuk memberi penerangan kepada masyarakat tentang kesehatan masih dilakukan dalam bentuk yang sederhana, yaitu melalui pengeras suara atau dalam bentuk gambar dan poster dan juga melalui film layar tancap. Cara-cara itu kemudian berkembang. Tetapi karena propaganda dirasakan kurang efektif apabila tidak dilakukan upaya perubahan atau perbaikan perilaku hidup sehari-hari masyarakat, maka dilancarkanlah upaya pendidikan kesehatan masyarakat (health education) yang dipadukan dengan upaya pembangunan masyarakat (community development) atau upaya pengorganisasian masyarakat (community organization).
Upaya ini berkembang pada tahun 1960 an, sampai kemudian mengalami perkembangan lagi pada tahun 1975 an, menjadi “Penyuluhan Kesehatan”. Meski fokus dan caranya sama, tetapi istilah “Pendidikan kesehatan” itu berubah menjadi “Penyuluhan Kesehatan”, karena pada waktu itu istilah “pendidikan” khusus dibakukan di lingkungan Departemen Pendidikan.
Pada sekitar tahun 1995 istilah Penyuluhan kesehatan itu berubah lagi menjadi “Promosi Kesehatan”. Perubahan itu dilakukan selain karena hembusan perkembangan dunia (Health promotion mulai dicetuskan di Ottawa pada tahun 1986), juga sejalan dengan paradigma sehat, yang merupakan arah baru pembangunan kesehatan di Indonesia. Istilah itulah yang berkembang sampai sekarang, yang antara lain menampakkan wujudnya dalam bentuk pemasaran atau iklan.